![]() |
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto (Sumber Foto: ANTARA via Kompas) |
FEMUSINDO.com - Ramai di media massa dan media sosial kabar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Sekjen PDIP), Hasto Kristiyanto, jadi tersangka.
Kasus yang menjerat Hasto Kristiyanto ini terkait dengan mantan calon legislatif (caleg) PDIP, Harun Masiku, yang ingin menjadi Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR Dapil Sumatera Selatan I, Nazarudin Kiemas, yang lolos ke DPR RI tetapi meninggal dunia pada Maret 2019.
Kemudian, PDIP merekomendasikan Harun Masiku sebagai anggota DPR periode 2019-2024, menggantikan Nazarudin Kiemas, caleg PDIP yang memperoleh suara terbanyak di Dapil Sumatera Selatan I itu.
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, merekomendasi Harun Masiku dengan alasan ia sosok yang bersih, rekam jejaknya baik, dan pernah menerima beasiswa dari ratu Inggris. Hasto juga beralasan penunjukan Harun sesuai dengan fatwa Mahkamah Agung (MA).
Akan tetapi, dalam rapat pleno KPU RI justru menetapkan Rizeky Aprilia caleg PDIP peraih suara terbanyak kedua sebagai pengganti almarhum, meskipun PDIP mengajukan Harun.
Karena adanya perbedaan penetapan KPU dengan rekomendasi PDIP, untuk memuluskan Harun Masiku menjadi anggota DPR RI sejumlah pihak bermain.
Harun Masiku diduga sudah menyiapkan uang Rp1,5 miliar untuk menyuap Wahyu Setiawan, Komisioner KPU periode 2017-2022, guna memuluskannya menjadi anggota DPR melalui proses PAW tersebut.
Agar mengabulkan Harun sebagai PAW, pihak swasta bernama Saeful Bahri menghubungi Agustiani Tio Fridelina, mantan anggota Bawaslu yang juga orang kepercayaan Wahyu Setiawan, untuk memulai lobi.
Selanjutnya, Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, terlibat dalam kasus ini dengan mengatakan siap membantu kelolosan Harun dan meminta dana operasional Rp900 juta.
Harun Masiku kemudian memberikan uang kepada Saeful Bahri sebesar Rp850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP.
Uang sejumlah Rp150 juta diberikan kepada Doni, seorang advokat dan sisanya Rp400 juta untuk Wahyu dan Rp250 juta untuk operasional.
Setelah uang diterima, pada Selasa, 7 Januari 2020, berdasarkan rapat pleno KPU RI menolak permohonan Harun Masiku sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal.
Setelah gagal di rapat pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi Doni, menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW.
Pada Rabu, 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh Agustiani Tio Fridelina (ATF). Saat itulah tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Tim KPK menemukan dan mengamankan barang bukti uang RP400 juta yang berada di tangan Agustiani Tio Fridelina dalam bentuk Dollar Singapura.
Dalam OTT KPK ini, Harun Masiku sendiri berhasil lolos dan melarikan diri saat tim KPK hendak menangkapnya.
Diketahui sehari sebelum OTT KPK, Harun Masiku baru pulang dari Singapura melalui Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Petugas sempat mendeteksi jejak Harun Masiku di sekitar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun, upaya penangkapannya tidak berhasil.
Pada Januari 2020, Harun ditetapkan sebagai buronan KPK dan dicegah untuk bepergian ke luar negeri. Tak hanya itu, untuk mencegahnya ke luar negeri, Harun telah ditetapkan sebagai buronan internasional.
KPK telah meminta Interpol untuk menerbitkan red notice atas nama Harun Masiku. Tapi, sampai kini Harun Masiku masih buron dan belum diketahui keberadaannya.
Dari dalam agenda sidang para tersangka yang di OTT KPK sejumlah fakta terungkap, termasuk menyebut ada nama Hasto.
Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan Saeful Bahri sebagai terdakwa penyuap Wahyu pada Kamis, 30 April 2020, nama Hasto turut disebut.
Saeful menyebutkan, suap diberikan kepada Wahyu untuk disalurkan kepada anggota KPU lain. Namun, belum sempat uang itu didistribusikan, Wahyu sudah keburu dicokok KPK.
Wahyu Setiawan terbukti menerima suap senilai Rp600 juta dari Harun Masiku mantan caleg PDIP melalui orang kepercayaannya Agustiani Tio Fridelina dan pihak swasta bernama Saeful Bahri.
Wahyu bersama Agustiani terbukti menerima uang sebesar SGD 19 ribu dan SGD 38.350 atau setara dengan Rp600 juta lewat Saeful Bahri.
Dalam kasus ini, Wahyu telah divonis 7 tahun penjara, Agustiani Tio Fridelina dihukum 4 tahun penjara dan Saeful Bahri dihukum 1 tahun 8 bulan penjara.
Vonis itu berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 18/Pid. Sus-Tpk/2020/PN. Jkt. Pst tanggal 28 Mei 2020.
Wahyu Setiawan mendapat Pembebasan Bersyarat per tanggal 6 Oktober 2023 usai menjalani hukuman karena dinyatakan bersalah. Usai bebas, ia sempat diperiksa KPK kembali, tak lama setelah rumahnya digeledah penyidik.
Dari pengembangan kasus, setelah memeriksa Wahyu Setiawan, KPK telah mencegah lima orang ke luar negeri. Mereka diduga terkait dengan upaya perintangan penyidikan terhadap buron Harun Masiku.
Seiring berjalannya waktu, kasus suap Harun Masiku tak redup dan terus menggelinding. Terbaru, KPK menetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, jadi tersangka.
Penetapan Hasto sebagai tersangka ini diawali tahun 2020, di mana selepas OTT KPK dan penetapan para tersangka, di tahun itu Hasto sudah beberapa kali diperiksa KPK.
Kemudian, Hasto Kristiyanto diperiksa Kembali oleh penyidik KPK, Senin, 10 Juni 2024. Saat itu, handphone dan tas Hasto disita dari ajudannya.
Dalam perkembangannya, penyidik KPK menemukan bukti keterlibatan Sekjen PDIP dan menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan suap Harun Masiku.
Mereka diduga memberi suap ke Wahyu Setiawan yang pada 2020 atau saat kasus ini terjadi menjabat Komisioner KPU RI.
Tak hanya dugaan penyuapan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, jadi tersangka dengan satu perkara lainnya.
Kedua perkara itu, yakni dugaan suap proses Pergantian Antar Waktu (PAW) dan dugaan upaya menghalangi penyidikan mengusut kasus HM (Harun Masiku).
Dari informasi yang beredar, penetapan tersangka terhadap HK (Hasto Kristiyanto) ini diketahui dari surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
Ada dua surat perintah penyidikan atau sprindik terhadap Hasto yang dikeluarkan di tanggal, bulan dan tahun yang sama.
Pertama, Hasto dijerat sebagai tersangka kasus suap berdasarkan Sprindik nomor Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024.
Kedua, Hasto dijerat sebagai tersangka merintangi penyidikan berdasarkan Sprindik nomor Sprin.Dik/152/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024.
Mengenai perkara suap, Hasto dijerat dengan Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan, di perkara perintangan penyidikan, Hasto dikenakan Pasal 21 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Hasto ditetapkan sebagai tersangka setelah ekspose perkara yang dilakukan pada 20 Desember 2024 atau setelah pimpinan baru KPK mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden RI, Prabowo Subianto. (*)
Note: Dari Berbagai Sumber
No comments:
Write comment